UCAPAN IMAM ABU HANIFAH (AN-NU’MAN
BIN TSABIT)
* “Apabila hadits itu shahih maka hadits shohih itulah madzhabku” (Dinukil oleh
Ibnu Abidin Al-Asyiah Jilid I; 63)
* “ Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil pendapat kami selama dia tidak
mengetahui dari mana kami telah mengambilnya”.
Dalam
riwayat lain, “Haram atas siapa saja yang tidak mengetahui dalilku untuk
memberikan atwa dengan pendapatku”. Dalam riwayat yang lain, “Sesungguhnya kami
adalah manusia biasa, hari ini kami mengatakan sesuatu pendapat dan ternyata
besok kami rujuk dari pendapat itu (meralatnya).”. Diriwayatkan pula,
“Bagaimana kau ini wahai Ya’kub (Abu Yusuf), jangan kau tulis semua yang kau
dengar dari aku karena sesungguhnya boleh jadi hari ini aku mempunyai suatu
pendapat dan besok aku meninggalkannya. Atau besok saku mempunyai pendapat dan
ternyata besok lusa aku meninggalkannya.” (Dinukil oleh Ibnu Abidin dalam
Al-Asyiah Jilid I; 293).
* “Apabila aku mengatakan suatu pendapat yang menyelisihi kitab Allah dan
hadits Rasulullah saw maka tinggalkanlah pendapatku.”
UCAPAN
IMAM MALIK BIN ANAS
* “Aku hanyalah manusia biasa, kadang salah, kadang benar, maka
perhatikanlah pendapatku. Semua yang sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah hendaklah
kau ambil dan yang tidak sesuai dengan keduanya maka tinggalkanlah” (Dinukil
oleh Ibnu Abdil Bar dalam Jami’ Al-Yanul ‘Ilmi: Jilid II; 32)
* “Tiadalah seorangpun setelah Nabi Muhammad saw melainkan bisa diambil
pendapatnya dan bisa ditolak kecuali ucapan Nabi Muhammad saw”
* ” Berkata Ibnu Wahab: “Aku mendengar Imam Malik ditanya tentang menyela jari-jari
kaki ketika wudhu. Beliau menjawab: “Hal itu tidak wajib atas manusia”. Berkata
Ibnu Wahab: lalu aku meninggalkannya dan orang-orang pun meninggalkan (menyela
jari-jari). Lalu aku berkata kepada beliau: kami mempunyai hadits tentang hal
itu. Beliau menjawab: “Apa haditsnya?” Aku menjawab: Telah memberikan hadits
Al’Laits bin Sa’d dan Ibnu Lahi’ah dan Amir bin Al-Haris dan Yazid bin Amr
Al-Muwafiri dari Abdirrohman Al-Hambali dari sahabat Mustahid Al-Khurasyi
beliau berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah saw beliau menyela-nyela dengan
jari kelingkingnya di antara jari-jari kedua kakinya.” Lalu Imam Malik berkata,
“Sesungguhnya hadits ini baik dan aku tidak pernah mendengarnya kecuali saat
ini.” Kemudian aku mendengar beliau apabila ditanya (tentang masalah ini) maka
beliau perintahkan untuk menyela-nyela dengan jari.” (Dinukil oleh Ibnu Abi
Khatim dalam Muqoddimah Al-Zaroh: 31-32)
UCAPAN
IMAM ASY-SYAFI’I (MUHAMMAD BIN IDRIS)
* “Tiadalah seorangpun melainkan pasti ada sunnah nabi (hadits) yang hilang
daripadanya dan tidak diketahuinya. Maka kapan saja aku mengatakan suatu
pendapat atau meralat suatu rumusan yang ternyata terdapat hadits dari Nabi
yang menyelisihi pendapatku itu maka hendaklah yang diamalkan adalah hadits
Nabi dan itulah pendapatku.” (Dinukil oleh Ibnu Asakir dalam Tariq Dimas Jilid
XV: 1)
* “Kaum muslimin telah berijma’ bahwasanya siapa saja yang telah jelas baginya
sunnah (hadits) dari Rasulullah saw, maka tidak halal baginya untuk
meninggalkannya dikarenakan pendapat seseorang.”
Syarat
hadits dapat dijadikan dalil jika hadits tersebut shohih dan shorih
::
Menurut Imam Syafi’I makan daging unta adalah tidak batal wudhunya, sedangkan
ada hadits yang shohih dan shorih yang menyatakan bahwa makan daging unta
adalah batal wudhunya
::
Hadits shorih tapi tidak shohih, misal: khitan perempuan
::
Hadits shohih tapi tidak shorih, misal: merapikan jenggot [tidak ada hadits
yang menunjukkan secara jelas larangan merapikan jenggot] yang shorih adalah
kewajiban memelihara jenggot.
Sayyid sabiq berkata dalam hal ini, “Peliharalah jenggot, jangan
memotongnya hingga habis atau menipiskannya hingga seolah-olah tidak
berjenggot dan hendaknya merapikan jenggot sehingga lebih enak
dipandang (jangan membiarkan jenggot tidak berurus)
* “Apabila kamu mendapatkan di dalam kitabku yang menyelisihi sunnah Rasulullah
saw maka katakanlah yang sesuai sunnah Rasulullah saw dan tinggalkan
pendapatku.” Dalam riwayat lain, “maka hendaklah kamu mengikuti sunnah
Rasulullah saw dan jangan menengok pendapat siapapun.” (Dinukil oleh Imam
An-Nawawi)
* “Apabila hadits itu shohih maka itulah madzhabku.” (Dinukil oleh oleh Imam
Nawawi)
* “Kalian lebih mengerti tentang hadits dan rijal daripada aku. JIka sebuah
hadits shohih maka beritahukanlah kepadaku siapapun perawinya, orang
kuffah/orang busyroh/orang syam, sehingga aku berpendapat dengannya jika
haditsnya shohih.” (Dinukil oleh Al-Khotib dalam Hijaj Asy-Syafi’i)
* “Suatu masalah yang telah shohih haditsnya menurut para ahli hadits yang
menyelishi pendapatku maka aku ruju’ (ralat) dari pendapatku baik jika aku
masih hidup atau setelah matiku.” (Dinukil oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah)
* “Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu pendapat padahal telah shohih dari
Rasulullah saw yang menyelishinya maka ketahuilah bahwa akalku telah hilang.”
(Dinukil oleh Ibnu Asakir)
* “Semua apa yang aku ucapkan yang ternyata terdapat hadits shohih yang
menyelisihi ucapanku maka hadits nabi itulah yang lebih pantas. Janganlah
kalian bertaqlid kepadaku.” (Dinukil oleh Ibnu Asakir)
* “Semua hadits dari Nabi Muhammad saw adalah pendapatku walaupun kamu tidak
mendengarnya dariku.” (Dinukil oleh Ibnu Asakir)
UCAPAN
IMAM AHMAD BIN HAMBAL
* “Janganlah bertaqlid kepadaku, jangan pula bertaqlid kepada Malik, jangan
pula bertaqlid kepada Asy-Syafi’I dan jangan pula kepada Al-Auza’i dan
jangan pula kepada Ats-Tsauri. Dan ambillah dari mana mereka mengambilnya
[kembali kepada dail-dalil yang shohih].” (Dinukil oleh Ibnul Qoyyim
dalam ‘I’lamul Muwaqi’in).
Dalam
riwayat lain, “…janganlah kamu bertakqlid dalam agamamu kepada seorangpun dari
mereka. Apa saja yang datang dari Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya maka
kamu ambil kemudian tabi’in setelah itu seseorang boleh memilih.”, dalam
riwayat lain, “Al-Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang datanag dari Nabi
Muhammad saw dan para sahabatnya kemudian setelah tabi’in dia boleh memilih.”
(Dinukil oleh Abu Daud dalam Masail)
* “Pendapat Al’Auza’i, pendapat Malik dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah
pendapat dan dihadapanku semuanya sama, hanya saja yang dijadikan dalil adalah
Al-Atsar (hadits Rasulullah).” (Dinukil oleh Ibnu Abdil Bar dalam Al-Jami’)
* “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah maka dia berada diujung
kebinasaan.” (Dinukil oleh Ibnul Jauzi dalam Al-Manakib)
http://www.islam2u.net/index.php?option=com_content&view=article&id=336:ucapan-4-imam-madzhab&catid=11:ilmuan-islam&Itemid=76
No comments:
Post a Comment